Tuesday, November 9, 2021


 

Inna dan saudara-saudaranya

 

Topik 58: Inna dan saudara-saudaranya

Bismillahirrahmanirrahim.

Pembaca yang dirahmati Allah SWT. Kita sebenarnya akan melanjutkan pembahasan surat Al-‘Ashr ayat 2. Sebagaimana telah disampaikan kita menghadapi Inna di awal ayat kedua ini. Pembahasan إنَّ sangat dekat dengan pembahasan mubtada dan khobar. Telah kita lihat bahwa pengetahuan mengenai mubtada dan khobar ini sangat penting. Karena yang mempengaruhi mubtada dan khobar itu ada dua kelompok:

كان dan saudara-saudaranya.
إنَّ dan saudara-saudaranya.

Nah, saudara-saudara kaana itu banyak. Saudara-saudara inna juga banyak, suatu saat kita akan ketemu. Tapi untuk sekedar contoh, saudara-saudara إنَّ itu ada 5, diantaranya لعل – la’alla, dan ليت – layta. Dua-duanya artinya semoga, dengan beda maksud. La’alla adalah harapan yang mungkin terjadi, sedangkan layta adalah harapan yang mustahil terjadi.

Contohnya:

زيدٌ عالمٌ – Zaidun ‘aalimun : Zaid adalah orang yang berpengetahuan

Jika kita tambahkan inna, menjadi:

إنَّ زيدً عالمٌ – Inna Zaidan ‘aalimun : Sesungguhnya Zaid adalah orang yang berpengetahuan

Nah kita bisa mengganti inna dengan la’alla atau layta:

لعل زيدً عالمٌ – la’alla Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan

ليت زيدً عالمٌ – layta Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan

Perhatikan fungsi la’alla dan layta, sama dengan fungsi inna, yaitu menashobkan mubtada dan merafa’kan khobar. Lihat bahwa Zaidun (rofa’) setelah kemasukan inna, atau saudara-saudara inna (spt. La’alla dan layta), maka mubtada itu jadi nashob (dari Zaidun berubah menjadi Zaidan).

Perhatikan beda la’alla dengan layta diatas. Kalimat pertama, kemungkinan besar terjadi.

لعل زيدً عالمٌ – la’alla Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan

Misalkan tampak Zaid itu memang anaknya rajin, sehingga kemungkinan dia jadi orang alim, sangat besar.

Nah beda halnya dengan kalimat kedua. Misalkan telah diketahui umum bahwa Zaid itu anaknya idiot. Maka mengharapkan Zaid menjadi orang yang berilmu, tentu sia-sia, alias mustahil. Maka la’alla tidak tepat digunakan. Tetapi yang digunakan adalah layta.

ليت زيدً عالمٌ – layta Zaidan ‘aalimun: Semoga Zaid (jadi) orang yang berpengetahuan --> yang tidak mungkin terjadi, karena Zaid idiot, misalkan.

Atau seperti saya katakan:

ليت النارَ باردةٌ – layta an-naara baaridatun : semoga api itu dingin

Mengharap sifat api jadi dingin tentu mustahil. Makanya kita pakai layta.

Oke apa pelajaran yang kita dapatkan di topik ini? Ya, kita sudah lihat bahwa teman-teman inna itu cukup banyak, ada 5 (saya baru sebut 2 kan, yaitu la’alla dan layta). Teman-teman kaana juga banyak. Nah akan sangat untung kita, kalau kita tahu apa tugas kaana (dan saudara-saudaranya) dan apa tugas inna (dan saudara-saudaranya).

Oke, satu lagi, saudara Inna adalah Anna (hehe berarti saya sudah kasih tahu 3 ya).

Oke Anna sama dengan Inna, secara fungsi dan arti. Bedanya apa? Bedanya, kalau Inna ada diawal kalimat, kalau Anna ada ditengah kalimat.

Contohnya:

Saya paham, sesungguhnya Zaid itu orang yang berilmu.

فهمتُ أنَّ زيدً عالمٌ – fahimtu anna Zaidun ‘aalimun : saya paham, sesungguhnya Zaid itu orang berilmu.

Perhatikan bahwa awal kalimatnya adalah fahimtu (saya paham). Karena Inna tidak diawal kalimat, maka dia berubah menjadi Anna.

Oh ya terkadang dalam terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, karena anna terletak di tengah kalimat, maka dia sering diterjemahkan dengan “bahwasannya”, sehingga contoh diatas menjadi:

فهمتُ أنَّ زيدً عالمٌ – fahimtu anna Zaidun ‘aalimun : saya paham, bahwasannya Zaid itu orang berilmu.

Oke, topik mengenai mubtada dan khobar ini masih belum selesai. Insya Allah kita akan lanjutkan dengan jenis-jenis khobar (prediket).

Tema: Mashdar

 

Tema: Mashdar

Bismillahirrahmanirrahim

Seperti telah dijelaskan dalam topik 37, dan topik-topik sebelumnya, dalam Al-Quran sering kita bertemu dengan Mashdar (kata dasar). Secara tatabahasa apa itu Mashdar? Inya Allah topik ini kan menjelaskan.

Mashdar

Mashdar arti letterleg (benar gak nulis nya ya...?), adalah sumber. Sumber apa? Ya sumber dari sesuatu. Dalam konteks kata, maka masdhar itu dapat dilihat sebagai sumber dari kata, atau ide kata atau kata dasar. Hmm bingung ya? Oke... kita ambil perumpamaan dalam bahasa kita agar mudah memahaminya.

Kalau saya berkata sebuah kata yaitu "penulisan", apa yang terbayang dalam benak Anda? Satu kata "penulisan" itu mengandung banyak ide didalamnya. Contoh: "Saya telah menulis buku dengan pulpen diatas meja". Atau "Saya sedang menulis buku dengan pulpen diatas meja"

Berbicara "penulisan" dalam konteks contoh diatas ada makna (ide) lain yang bisa timbul:
1. Pekerjaan waktu lampau: telah menulis
2. Pekerjaan saat ini / akan datang: sedang menulis
3. Istilah atau nama pekerjaan: penulisan
4. Pelaku: Saya
5. Sesuatu yang ditulis: buku
6. Tempat menulis: meja
7. Alat menulis: pena

Jadi dari satu kata "penulisan" muncul di benak kita setidaknya 7 makna seputar kata "penulisan". Itulah mengapa kita katakan kata "penulisan" itu adalah sumber dari 7 makna tsb. Dengan demikian dapat kita katakan kata "penulisan" itu adalah Mashdar.

Perlu diketahui bahwa, satu kata dalam bahasa Arab dapat melahirkan 7 kata diatas (inilah salah satu "kehebatan" bahasa arab, setidaknya menurut saya). Hanya dengan menghafal satu kata, kita sudah dapat membentuk 7 kata. Contohnya:

Kata kerja (akar kata): كتب - kataba (menulis)
1. Pekerjaan waktu lampau: كتب - kataba : telah menulis
2. Pekerjaan saat ini / akan datang: يكتب - yaktubu : sedang menulis
3. Istilah atau nama pekerjaan: كتبا - katban : penulisan
4. Pelaku: كاتب - kaatibun : penulis
5. Sesuatu yang ditulis: مكتوب - maktuub: sesuatu yang ditulis
6. Tempat menulis: مكتب - maktab : meja
7. Alat menulis: مكتب - miktab : alat menulis (pena)

Lalu apa kaitannya antara Masdhar (kata dasar) dengan akar kata. Nah kadang bagi orang yang baru mulai belajar bahasa arab (seperti saya ini hehe), bisa bingung. Jawaban mudahnya begini. Kalau "penulisan (writing)" adalah kata dasar (Mashdar), maka akar katanya adalah "tulis (to write)". Ya, akar kata adalah kata kerja asli (belum mendapat imbuhan spt awalan, sisipan, atau akhiran).

Yang agak sedikit ekivalen dengan mashdar dalam bahasa Inggris, yaitu Gerund. Gerund dalam bahasa Inggris, adalah kata kerja yang dibendakan. Contoh: menghantam (to hit), Gerundnya: hitting (penghantaman). Contoh lain: membersihkan (to clean), Gerundnya: cleaning (pembersihan).

Jika dilihat maka Masdhar itu secara praktis dapat dikatakan sbb:
pe + kata-kerja-dasar + an.

Atau dalam bahasa Inggris, Mashdar itu secara praktis sbb:
verb I (simple present) + ing (contoh, cleaning, hitting, dancing, dsb)

Sayangnya dalam bahasa Arab, Masdhar itu cara membentuknya ada 2:
1. Yang ada polanya
2. Yang tidak ada polanya

Untuk yang 1. kalau kita tahu kata-kerjanya maka dengan mengikuti pola kita bisa membuat masdharnya. Sedangkan untuk yang 2, karena tidak ada pola, maka satu-satunya cara adalah melihat di Kamus.

Contoh untuk 1, sudah banyak kita jelaskan pada topik sebelumnya. Saya ulangi sbb:

Kata Tauhid, Tarhib adalah Mashdar dengan pola yang sama. Kata Islam dan Ikhlas adalah Masdhar dengan pola yang sama.

Berikut penjelasannya.

POLA KKT-2
Kata Tauhid توحيد
Kata Kerjanya (KKT-2): وحد - wahhada (meng-Esa-kan)
Kata Mashdarnya: توحيد - tauhiid (Peng-Esa-an)

Kata Tarhib ترحيب
Kata Kerjanya (KKT-2): رحب - rahhaba (menyambut)
Kata Mashdarnya: ترحيب - tarhiib (penyambutan)

Pola membentuk masdharKKT-1: Tambahkan TA, dan sisipkan YA

POLA KKT-1
Kata Islam إسلام
Kata Kerjanya (KKT-1): أسلم- aslama (menyerahkan diri)
Kata Mashdarnya: إسلام - Islaamun(penyerahan diri)

Kata Ikhlas إخلاص
Kata Kerjanya (KKT-1): أخلص- akhlasho(memurnikan)
Kata Mashdarnya: إخلاص - Ikhlashun(pemurnian)

Pola membentuk masdhar KKT-1: Harokat Alif awal kasroh, dan sisipkan ALIF di sebelum akhir.

Demikian telah kita jelaskan pengertian Mashdar. Insya Allah akan kita lanjutkan dengan Latihan.

Past Perfect Tense dalam bahasa Arab

 

Past Perfect Tense

Bismillahirrahmanirrahim.

Para pembaca yang dirahmati Allah SWT. Waktu pertama belajar kaana كان di hampir semua buku bahasa Arab menjelaskan dengan contoh kalimat sempurna (ada mubtada dan khobar), dan efeknya setelah dimasuki kaana.

Rata-rata diberi contoh seperti ini:

زيدٌ جميلٌ – Zaidun jamilun : Zaid ganteng

dan jika kemasukan kaana menjadi:

كان زيدٌ جميلاً – kaana Zaidun jamiilan: (dulu) Zaid ganteng : Zaid was handsome

Nah, contoh diatas tidaklah sukar untuk dilihat dan dipelajari polanya bukan?

Ada sedikit soal yang muncul. Waktu saya membaca Al-Qur’an terkadang yang muncul adalah kasus yang beda lagi. Ambil contoh, waktu kita mencoba membaca surat 2 ayat 10:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

Dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambahkan penyakit (tsb) dan bagi mereka adzab yang pedih disebabkan apa-apa (yang selama ini) mereka dustakan.

Perhatihakan kalimat terakhirnya:

بما كانوا يكذبون – bimaa kaanuu yakdzibuuna

Perhatikan karena kalimat diatas adalah untuk orang-3 laki-laki jamak, maka dipakai كانوا – kaanuu. Coba kita ganti menjadi orang-3 laki-laki tunggal, maka kalimatnya menjadi:

بما كان يكذبُ – bimaa kaana yakdzibu

Nah disini saya bingung. Kenapa?

Dalam buku-buku selalu diberi contoh setelah kaana selalu kata benda (isim), kok di Al-Quran, banyak kalimat setelah kaana itu kata kerja (fi’il).

Nah berikut penjelasannya.

Kalau saya berkata begini:

He studies Al-Quran – Dia belajar Al-Quran

Dalam bahasa Arab :

هو يتعلم القراّن - huwa yata-‘allamu al-qur-aana

Kalau saya berkata:

He used to study Al-Quran : Dia (dulu) biasa belajar Al-Quran

كان يتعلم القواّن – kaana yata-‘allamu al-qur-aana

Nah bagaimana analisis mubtada khobarnya?

Begini mas dan mbak… Masih ingat kan bahwa tugas kaana adalah merafa’kan mubtada menashobkan khobar?

Oke, sekarang kita lihat kalimat diatas:

هو يتعلم القراّن - huwa yata-‘allamu al-qur-aana

Mubtada’ nya : huwa
Khobarnya: yata-’allamu al-qur-aana

Perhatikan khobarnya disini adalah sebuah kalimat sempurna yang diawali dengan kata kerja sehingga sering disebut jumlah fi’liyyah.

Nah kalau khobarnya jumlah, maka pemasukan kaana kedalam susunan mubtada dan khobar dalam kalimat diatas, mengakibatkan khobarnya tidak kena efek apa-apa.

Oke coba kita masukkan kaaana:

كان هو يتعلم القراّن - kaana huwa yata-‘allamu al-qur-aana

Karena setelah kata kerja tidak boleh ada dhomir (kata ganti) pelaku, maka huwa dibuang, sehingga menjadi

كان يتعلم القراّن - kaana yata-‘allamu al-qur-aana : He used to study Al-Qura’an
<>

Dari contoh ini jelaslah bagi kita bahwa, kalau setelah kaana itu ada kata kerja, maka sebenarnya kata kerja itu adalah khobar dalam bentuk fi’il, atau jumlah fi’liyyah.

Lalu apa fungsi Kaana terhadap fi’il tersebut?

Oke menariknya disini.

Kita sudah tahu bahwa dalam bahasa Arab, tenses hanya dibagi 2 saja, yaitu:
- Imperfect Tense (pekerjaan yang masih berlangsung / belum selesai)
- Perfect Tense (pekerjaan yang sudah selesai)

Contohnya:

هو كتب كتابه – huwa kataba kitaabahu : dia (telah selesai) menulis bukunya.
هو يكتب كتابه – huwa yaktubu kitaabahu : dia (sedang) menulis bukunya.

Nah dalam bahasa Inggris kita tahu, jumlah tenses banyak kan? Ada present perfect, ada past perfect dsb. Nah sebenarnya kaana dan yakuunu dapat berfungsi untuk memberi efek waktu terhadap suatu perkerjaan yang mirip-mirip dengan bahasa Inggris.

Contohnya jika saya masukkan kaana.

كان كتب كتابه – kaana kataba kitaabahu : He had written his book
كان يكتب كتابه – kaana yaktubu kitaabahu: He had been writing his book
سيكون كتب كتابه – sayakuunu kataba kitaabahu: He will have written his book
سيكون يكتب كتابه – sayakuunu yaktubu kitaabahu: He will be writing his book

Walau dalam beberapa konteks tidak bisa disamakan persis, tetapi kira-kira kaana bisa difungsikan untuk memberi efek waktu ”had” atau ”will” kepada sebuah kata kerja.

Demikian telah kita bahas fungsi lain dari kaana. Semoga Anda yang biasa belajar tenses bahasa Inggris, juga mengerti bahwa dalam bahasa Arab, bisa juga dibentuk hal yang mirip dengan tenses bahasa Inggris (walau tidak ”pas” 100%).

Thursday, May 27, 2021

Matan Ushulus Sunnah


:أُصُولُ السُّـنَّةِ عِنْدَنَا

Pondasi Ahlus Sunnah menurut kami adalah:

التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ الرَّسُولِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–،

1. Berpegang teguh pada jalan hidup para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَالإِقْتِدَاءُ بِـهِمْ،

2. Berqudwah (mengambil teladan) pada mereka.

وَتَرْكُ البِدَعِ،

3. Meninggalkan bid’ah-bid’ah,

وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلالَةٌ،

4. Setiap bid’ah adalah kesesatan,

وَتَرْكُ الخُصُومَاتِ وَ[تَرْكُ] الجُلُوسِ مَعَ أَصْحَابِ الأَهْوَاءِ،

5. Meninggalkan permusuhan dan berduduk-duduk dengan Ahlil Ahwa’ (pengekor hawa nafsu),

وَتَرْكُ الـمِرَاءِ والجِدَالِ، وَالخُصُومَاتِ فِي الدِّينِ.

6. Meninggalkan perdebatan dan adu argumentasi serta pertikaian dalam urusan agama.

والسُّـنَّةُ عِنْدَنَا: آثَارُ رَسُولِ اللهِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–،

7. As-Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

والسُّنَّةُ تُفَسِّرُ القُرْآنَ، وَهِيَ دَلَائِلُ القُرْآنِ،

8. As-Sunnah adalah penjelas Al-Quran dan Sunnah menjadi dalil-dalil (sebagai petunjuk dalam memahami) Al-Quran,

وَلَيْسِ فِي السُّنَّةِ قِيَاسٌ،

9. Di dalam As-Sunnah [Aqidah] tidak ada qiyas,

وَلا تُضْرَبُ لَهَا الأَمْثَالُ، وَلا تُدْرَكُ بالعُقُولِ وَلا الأَهْوَاءِ، إنَّمَا هُوَ الإتِّـبَاعُ وتَرْكُ الهَوَى.

10. As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan dan tidak dapat diukur dengan akal dan hawa nafsu, akan tetapi dengan ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu.

وَمِنَ السُّنَّةِ اللَّازِمَةِ الَّتِي مَنْ تَرَكَ مِنْهَا خَصْلَةً -لَـمْ يَقْبَلْهَا ويُؤْمِنْ بِهَا –لَـمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِهَا:

11. Dan termasuk dari Sunnah yang tidak boleh ditinggalkan dan bila ditinggalkan satu perkara saja darinya maka ia tidak menerima dan beriman dengannya (Sunnah) dan tidak termasuk dari ahlinya:

الإيمَانُ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، والتَّصْدِيقُ بِالأَحَادِيثِ فِيهِ،وَالإِيمَانُ بِهَا لا يُقَالُ:لِـمَ؟ وَلاكَيْفَ؟ إنَّمَا هُوَ التَّصْدِيقُ بِهَا وَالإيمَانُ[بِهَا]. ومَنْ لَمْ يَعْرِفْ تَفْسِيْرَ الحَدِيثِ ويَبلُغْهُ عَقْلُهُ فَقَد كُفِيَ ذَلِكَ وَأُحْكِمَ لَهُ، فَعَلَيْهِ الإِيمَانُ بِهِ وَالتَّسْلِيمُ لَهُ، مِثلَ حَدِيثِ: [الصَّادِقِ المَصْدُوقِ] ومِثلَ مَا كَانَ مِثْلَه في القَدَرِ، وَمِثْلَ أَحَادِيْثِ الرُّؤْيَةِ كُلِّهَا وَإِنْ نَبَتْ عَنِ الأسْمِاعِ وَاسْتَوْحَشَ مِنْهَا الـمُستَمِعُ، فإنَّمَا عَلَيهِ الإِيْـمَانُ بِهَا، وَأَنْ لا يَرُدَّ مِنْهَا حَرْفاً وَاحِداً وَغَيرِهَا مِنَ الأَحَادِيثِ الـمَأْثُورَاتِ عَنِ الثِّقَاتِ.
[وأَنْ ] لَا يُخَاصِمَ أَحَداً ولا يُنَاظِرَهُ، ولا يَتَعَلَّمُ الجِدَالَ، فإنَّ الكَلامَ في القَدَرِ والرُّؤْيةِ وَالقُرْآنِ وغَيْرِهَا مِنَ السُّنَنِ مَكْرُوهٌ مَنهِيٌّ عَنهُ، وَلا يَكُونُ صَاحِبُهُ- إِنْ أَصَابَ بِكَلامِهِ السُّنَّةَ-مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ حَتَّى يَدَعَ الجِدَالَ ويُسَلِّمَ، وَيُؤْمِنَ بِالآثَارِ.

12. Beriman terhadap taqdir baik dan buruknya dan membenarkan hadits-hadits tentangnya dan mengimaninya. Tidak boleh mengatakan: “Kenapa” dan “bagaimana”, karena hal itu tiada lain hanyalah membenarkan dan mengimaninya. Barangsiapa yang tidak mengerti penjelasan hadits (tentang taqdir) dan akalnya tidak sampai, maka hal itu telah cukup dan kokoh baginya. Maka wajib baginya mengimaninya dan berserah diri, seperti hadits: Ash-Shaadiqul Mashduuq, dan semisalnya hadits tentang taqdir, juga semua hadits-hadits tentang melihat Allah meskipun jarang terdengar dan banyak yang tidak suka mendengarnya, maka wajib mengimaninya dan tidak boleh menolak darinya satu huruf pun, dan hadits-hadits selainnya yang ma’tsur dari orang-orang yang tsiqah (terpercaya).
Tidak boleh mendebat seseorang tentangnya dan mempelajari Ilmu berdebat, karena berdebat tentang taqdir, ru’yah, Al-Quran dan yang selainnya dari (prinsip-prinsip) As-Sunnah adalah makruh dan terlarang. Dan tidak termasuk Ahli Sunnah (orang yang berbicara dan berdebat tentang taqdir, ru’yah dan Al-Quran) meskipun perkataannya sesuai dengan As-Sunnah hingga ia meninggalkan perdebatan dan berserah diri serta beriman terhadap atsar-atsar.

والقُرآنُ كَلامُ اللهِ ولَيْسَ بِمَخْلُوقٍ وَلا يَضْعُفُ أَنْ يَقُولَ: لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ، قَالَ: فإنَّ كَلامَ اللهِ مِنْهُ وَلَيْسَ بِبَائِنٍ مِنْهُ، وَلَيْسَ مِنْهُ شَيءٌ مَخْلُوقٌ،وإيَّاكَ ومُنَاظَرَةُ مَنْ أَحْدَثَ فِيهِ وَمَنْ قَالَ بِاللَّفْظِ وَغَيْرِهِ، وَمَنْ وَقَفَ فِيهِ فَقَالَ: لا أَدْرِي، مَخْلُوقٌ أَوْ لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ وإنمَا هُوَ كَلامُ اللهِ، فَهَذَا صَاحِبُ بِدْعَةٍ مِثْلَ مَنْ قَالَ:هُوَ مَخْلُوقٌ، وإِنَّمَا هُوَ كَلامُ اللهِ وَلَيْسَ بِمَخْلُوقٍ.

13. Al-Quran adalah Kalam Allah dan bukan makhluk, dan tidak boleh melemah untuk mengatakan Al-Quran bukan makhluk, karena sesungguhnya kalam Allah itu tidak terpisah dari-Nya, dan tiada suatu bagianpun dari-Nya yang makhluk dan hindarilah berdebat dengan orang yang membuat perkara baru tentangnya, orang yang mengatakan lafazhku dengan Al-Quran adalah makhluk dan selainnya serta orang yang tawaqquf tentangnya, yang mengatakan, “Aku tidak tahu makhluk atau bukan makhluk akan tetapi ia adalah kalam Allah.” Karena orang ini adalah ahli bid’ah, seperti orang yang mengatakan Al-Quran adalah makhluk. Sesungguhnya Al-Quran adalah Kalam Allah dan bukan makhluk.

وَالإِيمَانُ بِالرُّؤْيَةِ يَوْمَ القِيَامَةِ كَمَا رُوِيِ عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مِنَ الأَحَادِيثِ الصِّحَاحِ.

14. Beriman terhadap ru’yah (melihat Allah) pada hari kiamat sebagaimana hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

وأَنَّ النَّبِيَّ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَدْ رَأَى رَبَّهُ، فَإِنَّهُ مَأْثُورٌعَنْ رَسُولِ اللهِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ–صَحِيحٌ، [قَدْ]رَوَاهُ قَتَادَةُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَرَوَاهُ الحَكَمُ بنُ أَبَانَ عَن عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَرَوَاهُ عَلِيٌّ بنُ زَيْدٍ عَنْ يُوسُفَ بنِ مِهْرَانَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ. وَالحَدِيثُ عِنْدَنَا عَلَى ظَاهِرِهِ كَمَا جَاءَ عَنِ النَّبِيِّ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-وَالكَلامُ فِيهِ بِدْعَةٌ، وَلَكِنْ نُؤْمِنُ بِهِ كَمَا جَاءَ عَلَى ظَاهِرِهِ وَلا نُنَاظِرُ فِيهِ أَحَداً.

15. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat Rabbnya. Telah ada atsar yang shahih dari Rasulullah yang diriwayatkan oleh Qatadah dari lkrimah dari lbnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan diriwayatkan oleh Al-Hakam bin Abban dari lkrimah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma serta diriwayatkan oleh Ali bin Zaid dari Yusuf bin Mihran dari lbnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Dan hadits tersebut menurut kami hendaknya difahami sesuai dengan makna zhahirnya, sebagaimana hal itu datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebab memperdebatkan tentangnya adalah bid’ah. Akan tetapi kami mengimaninya sesuai dengan (makna) zhahirnya sebagaimana hal itu datang (kepada kami), dan kami tidak memperdebatkan tentangnya dengan siapapun.

وَالإِيمَانُ بِالـمِيزَانِ يَوْمَ القِيَامَةِ، كَمَا جَاءَ [يُوزَنُ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ فَلا يَزِنُ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ]، وَتُوزَنُ أَعْمَالُ العِبَادِ كَمَا جَاءَ في الأَثَرِ، وِالإيمَانُ بِهِ والتَّصْدِيقُ [بِهِ] وَالإعْرَاضُ عَنْ مَنْ رَدَّ ذَلِكَ وَتَرْكُ مُجَادَلَتِهِ.

16. Beriman kepada Al-Miizan (timbangan) pada hari kiamat, sebagaimana dalam hadits [seorang hamba akan ditimbang pada hari kiamat, maka ia tidak dapat mengimbangi berat sayap seekor nyamuk], Dan juga amalan-amalan para hamba akan ditimbang sebagaimana dalam atsar, mengimani dan membenarkannya dan berpaling dari orang yang menolaknya serta meninggalkan perdebatan dengannya.

وَأَنَّ اللهَ-تَبَارَكَ وَتَعَالَى-يُكَلِّمُ العِبَادَ يَوْمَ القِيَامَةِ لَيْسَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانُ، والإيمَانُ بِهِ وَالتَّصْدِيقُ بِهِ،

17. Allah akan mengajak bicara hamba-hamba-Nya pada hari kiamat tanpa ada penerjemah antara mereka dengan-Nya, dan kita wajib mengimani dan membenarkannya,

وَالإيمَانُ بِالحَوْضِ، وَأَنَّ لِرَسُولِ اللهِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-حَوْضَاً يَوْمَ القِيَامِةِ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتُهُ، عَرْضُهُ مِثْلُ طُولِهِ مَسِيرَةُ شَهْرٍ، آنِيَتُهُ كَعَدَدِ نُجُومِ السَّمَاءِ عَلَى مَا صَحَّتْ بِهِ الأَخْبَارُ مَنْ غَيْرِ وَجْهٍ،

18. Beriman dengan telaga dan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki telaga pada hari kiamat yang akan didatangi oleh umatnya dimana luasnya sepanjang perjalanan sebulan dan bejana-bejananya sebanyak bintang-bintang di langit menurut riwayat-riwayat yang shahih dari beberapa jalan,

وَالإيمَانُ بِعَذَابِ القَبْرِ،

19. Beriman kepada adzab kubur,

وَأَنَّ هَذِهِ الأُمَّةَ تُفْتَنُ في قُبُورِهَا وَتُسْأَلُ عَنِ الإيمَانِ وَالإِسْلامِ، وَمَنْ رَبُّهُ؟ وَمَنْ نَبِيُّهُ؟، وَيَأْتِيهِ مُنْكَرٌ وَنَكِيرٌ كَيْفَ شَاءَ اللهُ-عَزَّ وَجَلَّ-، وَكَيْفَ أَرَارَدَ، وَالإيمَانُ بِهِ وَالتَّصْدِيقُ بِهِ.

20. Dan bahwa umat ini akan diuji dan ditanya di dalam kuburannya tentang iman, islam, siapa Rabb-nya, siapa Nabinya, dan akan didatangi oleh Malaikat Munkar dan Nakir sesuai dengan kehendak dan keinginan Allah. Dan kita mengimani dan membenarkannya.

وَالإيمَانُ بِشَفَاعَةِ النَّبِيِّ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-وَبِقَوْمٍ يُخْرَجُونَ مِنَ النَّارِ بَعْدَمَا احْتَرَقُوا وَصَارُوا فَحْماً؛ فَيُؤْمَرُ بِهِمْ إِلَى نَهْرٍ عَلَى بَابِ الجَنَّةِ، كَمَا جَاءَ في الأَثَرِ، كَيْفَ شَاءَ اللهُ وَكَمَا شَاءَ، إِنَّمَا هُوَ الإيمَانُ بِهِ وَالتَّصْدِيقُ بِهِ.

21. Beriman terhadap syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada suatu kaum yang dikeluarkan dari api Neraka setelah terbakar dan menjadi arang, kemudian mereka diperintahkan menuju sungai di depan Surga sesuai dengan kehendak Allah, sebagaimana dalam atsar. Dan kita mengimani dan membenarkannya.

وَالإيمَانُ أَنَّ الـمَسِيحَ الدَّجَّالَ خَارِجٌ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ كَافِرٌ، وَالأَحَادِيثُ الَّتِي جَـاءَتْ فِيهِ، وَالإيمَانُ بِأَنَّ ذَلِكَ كَائِنٌ،

22. Beriman bahwa Al-Masih ad-Dajjal akan keluar, tertulis di antara kedua matanya “Kafir”. Dan beriman terhadap hadits-hadits tentangnya dan bahwa hal itu pasti terjadi,

وَأَنَّ عِيسَى [ابْنَ مَرْيَمَ]-عَلَيْهِ السَّلامُ–يَنْزِلُ، فَيَقْتُلَهُ بِبَابِ لُدٍّ.

23. Dan bahwa Isa bin Maryam ‘alaihis salam akan turun lalu membunuhnya di pintu Ludd.

وَالإيمَانُ:قَوْلٌ وَعَمَلٌ، يَزِيدُ وَيَنْقُصُ، كَمَا جَاءَ في الخَبَرِ [أَكْمَلُ الـمُؤْمِنِينَ، إِيمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً]،

24. Iman adalah perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan berkurang sebagaimana dalam hadits: [Orang yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya],

[وَمَنْ تَرَكَ الصَّلاةَ فَقَدْ كَفَرَ]، وَلَيْسَ مِنَ الأَعْمِالِ شَيءٌ تَرْكُهُ كُفْرٌ إِلا الصَّلاةُ، مَنْ تَرَكَهَا فَهُوَ كَافِرٌ، وَقَدْ أَحَلَّ اللهُ قَتْلَهُ.

25. Barangsiapa meninggalkan shalat maka ia telah kafir, dan tidak ada suatu amalan apapun yang apabila ditinggalkan maka akan menyebabkan kekafiran melainkan shalat. Maka barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah kafir dan Allah telah menghalalkannya untuk dibunuh.

وَخَيْرُ هَذِهِ الأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا: أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ، ثُمَّ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ، ثُمَّ عُثْمَانُ بنُ عَفَّانَ، نُقَدِّمُ هَؤُلَاءِ الثَّلاثَةِ كَمَا قَدَّمَهُمْ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، لمْ يَخْتَلِفُوا فِي ذَلِكَ، ثمَّ بَعْدَ هَؤُلاءِ الثَّلاثَةِ أَصْحَابُ الشُّورَى الخَمْسَةُ: عَلِيٌ بنُ أَبي طَالَبٍ، وَطَلْحَةُ، وَالزُّبَيْرُ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بنُ عَوْفٍ، وَسَعْدُ[بنُ أَبِي وَقَّاصٍ]، وَكُلُّهُمْ يَصْلُحُ لِلْخِلافَةِ، وكلُّهُمْ إِمَامٌ، وَنَذْهَبُ إِلى حَدِيثِ ابنِ عُمَرَ: “كُنَّا نَعُدُّ وَرَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-حَيٌ وَأَصْحَابُهُ مُتَوَافِرُونَ: أَبُوبَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ، ثُمَّ عُثْمَانُ، ثُمَّ نَسْكُتُ” ثُمَّ [مِنْ] بَعْدِ أَصْحَابِ الشُّورَى أَهْلُ بَدْرٍ مِنَ الـمُهَاجِرِينَ، ثُمَّ أَهْلُ بَدْرٍ مِنَ الأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-عَلَى قَدْرِ الهِجْرَةِ وَالسَّابِقَةِ أَوَّلاً فَأَوَّلاً،

26. Sebaik-baik orang dari umat ini setelah Nabi-nya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, kemudian Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin ‘Affan. Kami mendahulukan mereka bertiga sebagaimana para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendahulukan mereka, mereka tidak berselisih pendapat dalam hal itu. Kemudian setelah mereka adalah lima orang Ash-haabu asy-Syuura, yaitu: Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair (bin Awwam), Abdurrahman bin Auf dan, Sa’ad (bin Abi Waqqash). Mereka semua patut untuk menjadi khalifah, dan semuanya adalah imam (pemimpin). Kami berpendapat demikian berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Kami menyebutkan secara berurutan tatkala Rasulullah masih hidup dan para sahabat masih berkumpul, yaitu: Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian kami diam”, Kemudian setelah Ash-haabu asy-Syura adalah Ahli Badr dari kaum Muhajirin, kemudian Ahli Badr dari kaum Anshar dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan kadar hijrah dan keterdahuluan (masuk Islam).

ثمَّ أَفْضَلُ النَّاسِ بَعْدَ هَؤُلاءِ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -القَرْنُ الَّذِي بُعِثَ فِيهِم،كُلُّ مَنْ صَحِبَهُ سَنَةً أَوْ شَهْراً أَوْ يَوْمَاً أَوْ سَاعَةً أَوْ رَآهُ فَهُوَ مِنْ أَصْحَابِهِ لَهُ مِنَ الصُّحْبَةِ عَلَى قَدْرِ مَا صَحِبَهُ، وَكَانَتْ سَابِقَتُهُ مَعَهُ وَسَمِعَ إِلَيْهِ وَنَظَرَ إِلَيْهِ [نَظْرَةً]، فَأَدْنَاهُمْ صُحْبَةً هُوَ أَفْضَلُ مِنَ القَرْنِ الَّذِينَ لَمْ يَرَوْهُ، وَلَوْ لَقُو اللهَ بِجَمِيعِ الأَعْمَالِ؛ كَانَ هَؤُلاءِ الَّذِينَ صَحِبُوا النَّبِيَّ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، وَرَأَوْهُ وَسَمِعُوا مِنْهُ، وَمَنْ رَآهُ بِعَيْنِهِ وَآمَنَ بِهِ وَلَوْ سَاعَةً أَفْضَلُ -لِصُحْبَتِهِ- مِنَ التَّابِعِينَ وَلَوْ عَمِلُوا كُلَّ أَعْمَالِ الخَيْرِ.

27. Kemudian sebaik-baik manusia setelah para sahabat [tersebut diatas] adalah generasi yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diutus padanya. Setiap orang yang bersahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik setahun, sebulan, sehari, sesaat atau pernah melihatnya, maka ia termasuk dari para sahabatnya. Ia memiliki keutamaan bersahabat sesuai dengan waktu persahabatan dengannya. Karena keterdahuluannya bersama Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam telah mendengar darinya, dan melihat kepadanya.
Maka serendah-rendah derajat mereka masih lebih utama dibanding generasi yang tidak pernah melihatnya, walaupun berjumpa Allah Azza wa Jalla dengan membawa seluruh amal (kebaikan). Mereka orang-orang yang pernah bersahabat dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, melihat dan mendengar darinya, serta orang yang melihatnya dengan mata kepalanya dan beriman kepadanya walaupun sesaat masih lebih utama—dikarenakan persahabatannya dengan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam — daripada para tabi’in walaupun mereka mengamalkan segala amal kebaikan.

وَالسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ لِلأَئِمَّةِ، وَأَمِيرُ الـمُؤْمِنِينَ، البَرُّ وَالفَاجِـرُ، وَمَنْ وَلِيَ الخِلافَةَ، فَاجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ، وَرَضُوا بِهِ، وَمَنْ غَلَبَهُمْ بِالسَّيْفِ حَتَّى صَارَ خَلِيفَةً [وَسُمِّيَ] أَمِيرَ الـمُؤْمِنِينَ.

28. Mendengar dan taat pada para imam dan pemimpin kaum mukminin yang baik maupun yang buruk dan kepada khalifah yang manusia bersatu padanya dan meridhainya. Dan juga kepada orang yang telah mengalahkan manusia dengan pedang (kekuatan) hingga ia menjadi khalifah dan disebut sebagai Amirul Mukminin (pemimpin kaum mukmin).

وَالْغَزْوُ مَاضٍ مَعَ الأُمَرَاءِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، البَرُّ وَالفَاجِرُ، لا يُتْرَكُ،

29. Jihad dilakukan bersama para pemimpin yang baik maupun yang buruk terus berlangsung sampai hari kiamat, tidak boleh ditinggalkan,

وَقِسْمَةُ الفَيْءِ، وَإِقَامَةُ الحُدُودِ إِلَى الأَئِمَّةِ مَاضٍ، لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَطْعَنَ عَلَيْهِمْ، وَلا يُنَازِعُهُمْ،

30. Pembagian fa’i (harta rampasan perang dari kaum kafir tanpa terjadi peperangan) dan penegakan hukuman-hukuman harus diserahkan kepada para imam (pemimpin). Tidak boleh bagi siapapun untuk mencela dan menyelisihinya,

وَدَفْعُ الصَّدَقَاتِ إِلَيْهِمْ جَائِزَةٌ وَنَافِذَةٌ، مَنْ دَفَعَهَا إِلَيْهِمْ أَجْزَأَتْ عَنْهُ، بَرَّاً كَانَ أَوْ فَاجِراً،

31. Membayar zakat/sedekah kepada mereka (para imam/pemerintah) boleh dan terlaksana. Barang siapa membayarkannya kepada mereka maka hal itu telah cukup/sah baginya, baik pemimpin itu baik maupun jelek,

وَصَلاةُ الجُمُعَةِ خَلْفَهُ، وَخَلْفَ مَنْ وَلَّاهُ جَائِزَةٌ بَاقِيَةٌ تَامَّةٌ رَكْعَتَيْنِ، مَنْ أَعَادَهُمَا فَهُوَ مُبْتَدِعٌ، تَارِكٌ لِلآثَارِ، مُخَالِفٌ لِلسُّنَّةِ، لَيْسَ لَهُ مِنْ فَضْلِ الجُمُعَةِ شَيءٌ؛ إِذَا لَمْ يَرَ الصَّلاةَ خَلْفَ الأَئِمَّةِ مَنْ كَانُوا: بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ فَالسُّنَّةُ أَنْ تُصَلِّيَ مَعَهُمْ رَكْعَتَيْنِ وَيَدِينُ بِأَنَّهَا تَامَّتٌ،لايَكُنْ فِي صَدْرِكَ مِنْ ذَلِكَ شَكٌّ،

32. Melaksanakan shalat Jum’at di belakang mereka dan di belakang orang yang menjadikan mereka sebagai pemimpin [ditunjuk oleh pemimpin] hukumnya boleh dan sempurna dilakukan dua raka’at. Barangsiapa yang mengulangi shalatnya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang meninggalkan atsar-atsar dan menyelisihi Sunnah. Tidak ada baginya sedikitpun dari keutamaan shalat Jum’at apabila ia tidak berpendapat bolehnya shalat di belakang para imam/pemimpin, baik pemimpin itu baik maupun buruk. Karena Sunnah memerintahkan agar melaksanakan shalat bersama mereka dua raka’at dan mengakui bahwa shalat itu sempurna. Tanpa ada keraguan terhadap hal itu di dalam hatimu,

وَمَنْ خَرَجَ عَلَى إِمَامٍ [مِنْ أَئِمَّةِ] الـمُسْلِمِينَ، وَقَدْ كَانَ النَّاسُ اجْتَمَعُوا عَلَيْهِ، وَأَقَرُّوا لَهُ بِالخِلافَةِ،بِأَيِّ وَجْهٍ كَانَ بِالرِّضَا أَوْ بِالغَلَبَةِ فَقَدْ شَقَّ هَذَا الخَارِجُ عَصَا المُسْلِمِينَ، وَخَالَفَ الآثَارَ عَنْ رَسُولِ اللهِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-فَإِنْ مَاتَ الخَارِجُ عَلَيْهِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً،

33. Barangsiapa yang keluar (dari ketaatan) terhadap seorang pemimpin dari para pemimpin muslimin, padahal manusia telah bersatu dan mengakui kekhalifahan baginya dengan cara apapun, baik dengan ridha atau dengan kemenangan (dalam perang), maka sungguh orang tersebut telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan menyelisihi atsar-atsar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan apabila ia mati dalam keadaan demikian maka matinya seperti mati jahiliyyah,

وَلا يَحِلُّ قِتَالُ السُّلْطَانِ وَلا الخُرُوجُ عَلَيْهِ لأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ،فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ عَلَى غَيْرِ السُّنَّةِ وَالطَّرِيقِ.

34. Tidak halal memerangi penguasa (pemerintah) dan keluar dari ketaatan kepadanya dikarenakan seseorang. Barangsiapa yang melakukan hal itu maka ia adalah seorang mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang bukan di atas Sunnah dan jalan (yang lurus).

وَقِتَالُ اللُّصُوصِ وَالخَوَارِجِ جَائِزٌ إِذَا عَرَضُوا لِلرَّجُلِ فِي نَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَهُ أَنْ يُقَاتِلَ عَنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ، وَيَدْفَعُ عَنْهَا بِكُلِّ مَا يَقْدِرُ، وَلَيْسَ لَهُ إِذَا فَارَقُوهُ أَوْ تَرَكُوهُ أَنْ يَطْلُبَهُمْ، وَلا يَتَّبِعَ آثَارَهُمْ، لَيْسَ لأَحَدٍ إِلا الإِمَامُ أَوْ وُلاةِ الـمُسْلِمِينَ، إِنَّمَا لَهُ أَنْ يَدْفَعَ عَنْ نَفْسِهِ فِي مَقَامِهِ ذَلِكَ، وَيَنْوِي بِجَهْدِهِ أَنْ لا يَقْتُلَ أَحَداً؛ فَإِنْ أتىعَلَيْهِ فِي دَفْعِهِ عَنْ نَفْسِهِ فِي الـمَعْرَكَةِ فَأَبْعَدَ اللهُ الـمَقْتُولَ، وَإِنْ قُتِلَ هَذَا فِي تِلْكَ الحَالِ وَهُوَ يَدْفَعُ عَنْ نَفْسِهِ وَمَالِهِ رَجَوتُ لَهُ الشَّهَادَةَ كَمَا جَاءَ فِي الأَحَادِيثِ.
وَجَمِيعُ الآثَارِ فِي هَذَا إِنَّمَا أُمِرَ بِقِتَالِهِ، وَلَمْ يُأْمَرْ بِقَتْلِهِ، وَلا اتِّبَاعِهِ، وَلا يُجْهِزْ عَلَيْهِ إِنْ صُرِعَ أَوْ كَانَ جَرِيحَاً،وَإِنْ أَخَذَهُ أَسِيراً فَلَيْسَ لَهَ أَنْ يَقْتُلَهُ، وَلا يُقِيمُ عَلَيْهِ الحَدَّ،وَلَكِنْ يَرْفِعُ أَمْرَهُ إِلَى مَنْ وَلاهُ اللهُ فَيَحْكُمُ فِيهِ.

35. Memerangi para pencuri dan orang-orang Khawarij (yang keluar dari ketaatan kepada penguasa) dibolehkan, apabila mereka telah merampas jiwa dan harta seseorang. Maka bagi orang tersebut boleh memerangi mereka untuk mempertahankan jiwa dan hartanya dengan segala kemampuan. Akan tetapi ia tidak boleh mengejar dan mengikuti jejak mereka apabila mereka telah pergi dan meninggalkannya. Tidak boleh bagi siapapun kecuali imam atau para pemimpin muslimin, karena hanya diperbolehkan untuk mempertahankan jiwa dan hartanya di tempat tinggalnya, dan berniat dengan upayanya untuk tidak membunuh seseorang. Jika ia (pencuri/Khawarij) mati di tangannya dalam mempertahankan dirinya, maka Allah akan menjauhkan orang yang terbunuh (dari rahmat-Nya), Dan jika ia (yang dirampok) terbunuh dalam keadaan demikian sedang ia itu mempertahankan jiwa dan hartanya, maka aku berharap ia mati syahid sebagaimana dalam hadits-hadits.
Dan seluruh atsar dalam masalah ini memerintahkan agar memeranginya [pencuri dan khawarij] dan tidak memerintahkan untuk membunuh dan mengejarnya. Dan tidak boleh membunuhnya jika ia menyerah atau terluka. Dan jika ia menawannya maka tidak boleh membunuhnya dan tidak boleh melaksanakan hukuman padanya akan tetapi urusannya diserahkan kepada orang yang telah dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin, lalu ia menghukuminya.

وَلا نَشْهَدُ عَلَى [أَحَدٍ مِنْ] أَهْلِ القِبْلَةِ بِعَمَلٍ يَعْمَلُهُ بِجَنَّةٍ وَلا نَارٍ، نَرْجُو لِلصَّالِحِ وَنَخَافُ عَلَيْهِ، وَنَخَافُ عَلَى الـمُسِيءِ الـمُذْنِبِ، وَنَرْجُو لَهُ رَحْمَةَ اللهِ.

36. Kami tidak bersaksi dengan (masuk) Surga atau Neraka bagi siapapun dari Ahli Kiblat (kaum muslimin-pent) disebabkan suatu amalan yang diperbuatnya. Kami berharap (kebaikan) bagi orang shalih dan mengkhawatirkan (kejelekan) baginya. Kami (juga) mengkhawatirkan (kejelekan) akan menimpa orang buruk lagi berdosa, dan mengharapkan rahmat Allah baginya.

وَمَنْ لَقِيَ اللهَ بِذَنْبٍ تَجِبُ لَهُ بِهِ النَّارُ-تَائِباً غَيْرَ مُصِرٍ عَلَيْهِ-، فَإِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- يَتُوبُ عَلَيْهِ، وَيَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ.

37. Barangsiapa berjumpa Allah dengan membawa dosa yang menyebabkannya masuk ke dalam Neraka —sedangkan ia dalam keadaan bertaubat dan tidak berlarut-larut di dalam dosa— maka sesungguhnya Allah akan mengampuninya dan menerima taubat dari hamba-hambanya serta memaafkan kesalahan-kesalahan.

وَمَنْ لَقِيَهُ وَقَدْ أُقِيمَ عَلَيْهِ حَدُّ ذَلِكَ الذَّنْبِ فِي الدُّنْيَا، فَهُوَ كَفَّارَتُهُ، كَمَا جَاءَ فِي الخَبَرِ عَنْ رَسُولِ اللهِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

38. Barangsiapa berjumpa dengan Allah, dan telah dilaksanakan hukuman dosa tersebut padanya di dunia, maka itu adalah kaffarahnya (penghapus dosanya). Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

وَمَنْ لَقِيَهُ مُصِرّاً غَيْرَ تَائِبٍ مِنَ الذُّنُوبِ الَّتِي اسْتَوْجَبَ بِهَا العُقُوبَةَ؛ فَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ-عَزَّ وَجَلَّ- إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ.

39. Barangsiapa berjumpa Allah dalam keadaan terus menerus berbuat dosa tanpa bertobat darinya, yang mana dosa-dosa tersebut mengharuskannya disiksa, maka urusannya terserah kepada Allah. Jika Dia berkehendak, Dia menyiksanya. Dan jika Dia berkehendak, Dia mengampuninya.

وَمَنْ لَقِيَهُ مِنْ كَافِرٍ عَذَّبَهُ وَلَمْ يَغْفِرْ لَهُ.

40. Barangsiapa berjumpa Allah dari orang kafir, niscaya Dia menyiksanya dan tidak mengampuninya.

وَالرَّجْمُ حَقٌّ عَلَى مَنْ زَنَا وَقَدْ أُحْصِنَ إِذَا اعْتَرَفَ أَوْ قَامَتْ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ،

41. (Hukuman) Rajam adalah hak bagi siapa yang berzina sedangkan dia telah terpelihara (menikah), bilamana dia mengaku atau terdapat bukti atasnya,

وَقَدْ رَجَمَ رَسُولُ اللهِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-،

42. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah (melaksanakan hukuman) rajam,

وَقَدْ رَجَمَتْ الأَئِمَّةُ الرَّاشِدُونَ.

43. Demikian pula para imam (pemimpin) yang lurus telah melaksanakan hukuman rajam.

وَمَنِ انْتَقَصَ أَحَداً مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، أَوْ أَبْغَضَهُ لِحَدَثٍ كَانَ مِنْهُ،أَوْ ذَكَرَ مَسَاوِئَهُ، كَانَ مُبْتَدِعاً حَتَّى يَتَرَحَّمَ عَلَيْهِمْ جَمِيعاً، وَيَكُونُ قَلْبُهُ لَهُمْ سَلِيماً.

44. Barangsiapa yang mencela salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau membencinya karena suatu kesalahan darinya, atau menyebutkan kejelekan-kejelekannya, maka dia adalah seorang ahli bid’ah, sehingga dia menyayangi mereka semua dan hatinya bersih dari (sikap membenci atau mencela-pent) mereka.

وَالنِّفَاقُ هُوَ الكُفْرُ:أَنْ يَكْفُرَ بِاللهِ وَيَعْبُدَ غَيْرَهُ، وَيُظْهِرَ الإِسْلامَ فِي العَلانِيَةِ، مِثْلَ الـمُنَافِقِينَ الَّذِينَ كَانُوا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-.

45. Dan nifaq adalah kekafiran: Yakni kafir kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya, menampakkan keislaman di hadapan orang umum, seperti orang-orang munafiq yang hidup di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

وَهَذِهِ الأَحَادِيثُ الَّتِي جَاءَتْ: [ثَلاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ] هَذَا عَلَى التَّغْلِيظِ، نَرْوِيهَا كَمَا جَاءَتْ، وَلا نُفَسِّرُهَا.

46. Dan telah datang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: [Tiga perkara yang barangsiapa ada pada dirinya maka ia adalah orang munafiq], hadits ini sebagai ancaman berat, kami meriwayatkannya seperti apa adanya. Kami tidak menafsirkannya (dengan makna lain-pent).

وَقَولُهُ- صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: [لا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّاراً [ضُلاَّلاً] يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ]، وَمِثْلُ: [إِذَا الْتَقَى الـمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالقَاتِلُ وَالـمَقْـتُولُ فِي النَّارِ]، وَمِثْلُ: [سِبَابُ الـمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ]، وَمِثْلُ: [مَنْ قَالَ لأَخِيهِ:يَا كَافِرٌ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا] وَمِثْلُ: [كُفْرٌ بِاللهِ تَبْرُّؤٌ مِنْ نَسَبٍ وَإِنْ دَقَّ]،

47. Dan sabdanya shallallahu ‘alaihi wasallam: [Janganlah kamu kembali menjadi orang-orang kafir yang sangat sesat sepeninggalku. Sebagian kamu membunuh sebagian yang lain], dan seperti sabdanya [Apabila dua orang muslim saling berhadapan dengan mengangkat pedang, maka si pembunuh dan yang terbunuh keduanya masuk kedalam Neraka], dan seperti hadits [Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran], dan semisal sabdanya: [Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, ‘Wahai orang kafir’, maka perkataan tersebut akan kembali kepada salah satu dari keduanya], dan seperti hadits: [Merupakan kekafiran kepada Allah adalah berlepas diri dari nasab walaupun sekecil apapun],

وَنَحْوُ هَذِهِ الأَحَادِيثِ مِمَّا قَدْ صَحَّ وَحُفِظَ، فَإِنَّا نُسَلِّمُ لَهُ، وَإِنْ لَمْ نَعْلَمْ تَفْسِيرَهَا، وَلا نَتَكَلَّمُ فِيهِ، وَلا نُجَادِلُ [فِيهَا]، وَلا نُفَسِّرُ هَذِهِ الأَحَادِيثَ إِلاَّ بِمِثْلِ مَا جَاءَتْ، وَلا نَرُدُّهَا إِلا بِأَحَقَّ مِنْهَا.

48. Dan yang semisal hadits-hadits tersebut dari apa yang telah shahih dan terjaga. Kami pasrah kepadanya walaupun tidak tahu tafsirnya. Dan kami tidak membicarakannya dan tidak memperdebatkannya. Dan kami (juga) tidak menafsirkan hadits-hadits ini kecuali sebagaimana ia datang (seperti apa adanya). Kami tidak menolaknya kecuali dengan apa yang lebih benar darinya.

وَالجَنَّةُ وَالنَّارُ مَخْلُوقَتَانِ قَدْ خُلِقَتَا كَمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللهِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: [دَخَلْتُ الجَنَّةَ فَرَأَيْتُ قَصْراً] [وَرَأَيْتُ الكَوْثَرَ] [اطَّلَعْتُ فِي الجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا…..كَذَا]، [وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ، فَرَأَيْتُ…..كَذَا وَرَأَيْتُ كَذَا]، فَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُمَا لَمْ تُخْلَقَا فَهُوَ مُكَذِّبٌ بِالقُرْآنِ، وَأَحَادِيثُ رَسُولِ اللهِ-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، وَلا أَحْسَبُهُ يُؤْمِنُ بِالجَنَّةِ وَالنَّارِ.

49. Surga dan Neraka adalah dua makhluk yang telah diciptakan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: [Aku telah memasuki Surga, maka aku melihat sebuah istana] [Dan aku telah melihat Al-Kautsar] [Dan aku telah melihat Surga, lalu aku melihat mayoritas penghuninya adalah demikian] [Dan aku telah melihat Neraka, maka aku melihat begini dan begitu], maka barangsiapa menyangka bahwa keduanya (Surga dan Neraka) belum diciptakan, berarti ia telah mendustakan Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan aku (Imam Ahmad bin Hanbal-pent) menyangka bahwa ia tidak beriman dengan (adanya) Surga dan Neraka.

وَمَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِ القِبْلَةِ مُوَحِداً، يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُسْتَغْفَرُ لَهُ، [وَلا يُحْجَبُ عَنْهُ الاسْتِغْفَارُ]، وَلا نُتْرَكُ الصَّلاةَ عَلَيْهِ لِذَنْبٍ أَذْنَبَهُ-صَغِيراً كَانَ أَوْ كَبِيراً-وَأَمْرُهُ إِلَى اللهِ-عَزَّ وَجَلَّ-.

50. Barangsiapa meninggal dunia dari ahli kiblat dalam keadaan bertauhid, maka ia (berhak) dishalatkan dan dimintakan ampunan baginya. Dan istighfar (permintaan ampunan kepada Allah) tidak boleh dihalangi darinya. Dan menshalati jenazahnya tidak boleh ditinggalkan disebabkan suatu dosa yang dilakukannya, baik dosa kecil maupun besar. Dan urusannya terserah kepada Allah.[]

Saturday, May 23, 2009

(Al Ahqaaf;15,16)


Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.(Al Ahqaaf;15,16)

Tuesday, May 19, 2009

Ilmu Sebelum Beramal

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
Fa'lam annahu la ilaha ilallahu wastaghfir lidzambika
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad [47]: 19)